Showing posts with label Inspiration. Show all posts
Showing posts with label Inspiration. Show all posts

Tuesday, May 14, 2013

Kesucian dimulai dari hal-hal kecil



Mengapa ada tempat sampah dan tempat dupa di Jaba (bagian utama) Pura? Karena kami selalu membersihkan upakara yang kami gunakan setelah sembahyang. Kesucian dimulai dari hal-hal kecil kawan. @Pura Aditya Jaya Rawamangun


Hal menarik saya temukan ketika saya kuliah di Surabaya,  kampus perjuangan ITS. Bukan di lingkungan kampusnya, melainkan di tempat ibadah kami, Pura.

di Surabaya ataupun pura lainnya di luar Bali tidak hanya digunakan untuk beribadah melainkan sebagai tempat berkumpulnya anak - muda dari berbagai jurusan, kampus, golongan bersatu bersama dalam satu kata suci HINDU. Namun kali ini saya tidak akan membahas aktifitas mahasiswa Hindu di Surabaya.

Hal menarik ini juga saya temukan di Jakarta dan diseluruh Pura di luar Bali. Hal tersebut adalah adanya kebiasaan tak tertulis yang secara otomatis mendorong sensor motorik otak untuk memungut upakara (canang, dupa, bunga) yang sudah selesai digunakan untuk selanjutnya dibersihkan.
  
Simmmpppleeee, very very very leeesss effort.


Dengan menggunakan tangan kita sendiri untuk membersihkan maka kita sudah membantu para Pemangku Pura sehingga beliau-beliau tersebut bisa fokus kepada tugas utamanya dan tidak kelelahan karena harus bersih sana bersih sini.

KEBIASAAN SANGAT POSITIF INI saya selalu pegang teguh dan saya lakukan juga ketika saya pulang kampung (ckckck, jadi ingin pulang). Tidak perlu memberitahu orang lain, nanti dibilang "SOK GEN CI" (Indo: Blagu aja loe). Cukup dengan menjadi role model (contoh) saja, less talk do more broww.

Mari bagi semua yang sudah melakukan hal seperti ini agar tetap dilakukan dan disebarluaskan.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Friday, May 10, 2013

Kelas Inspirasi: Mendidik adalah tugas setiap orang terdidik.

Surat Panggilan Anies Baswedan 

kepada Para Profesional


Yth.
Para Profesional
di Indonesia


Saya menulis surat ini dengan keyakinan kita semua punya mimpi yang besar untuk masa depan Indonesia dan optimisme untuk bisa mewujudkannya.

Hari ini sebagian dari kita telah mendapatkan kesempatan untuk berprofesi yang baik dan hidup lebih sejahtera. Hadirnya kaum profesional adalah salah satu bukti nyata bahwa pendidikan adalah pembuka pintu kesempatan; pendidikan adalah eskalator sosial ekonomi.

Bila kita ambil jeda sebentar saja dari kesibukan untuk mengingat berapa banyak teman sekelas di SD dulu yang berhasil melewati pendidikan tinggi, barangkali jumlahnya bervariasi.

Setiap keberhasilan kita hari ini, di dalamnya ada jejak iuran para pendiri republik, jejak yang sering terlupakan.

Republik ini didirikan lewat iuran kolosal. Saat itu hampir semua pilih turun tangan. Ada yang iuran pikiran, iuran harta, iuran tenaga, iuran darah, bahkan tak terhitung yang iuran nyawa.

Semua ikut iuran tanpa pernah bertanya apa yang nantinya akan diberikan balik oleh republik ini; tak pernah ada persyaratan bahwa anak-cucunya pasti hidup makmur dan sejahtera. Tak ada.

Tapi bisa kita pastikan, setiap peran itu akan meninggalkan tanda pahala yang akan membekas. Iuran mereka itulah yang membuat kita semua kita menikmati kemajuan seperti sekarang ini.

Tradisi berjuang itu tidak pernah hilang. Sampai sekarang keluarga kita tetap membesarkan pejuang: orang-orang yang selalu ingat bahwa kehadirannya bukan sekadar untuk menikmati semua peluang di republik tercinta ini tapi juga untuk menanamkan makna bagi saudara sebangsa.

Kita semua ingin Indonesia yang lebih baik. Indonesia hanya bisa lebih baik jika kualitas manusianya berubah jadi lebih baik. Menjadi manusia yang terdidik dan tercerahkan.

Mengubah manusia selalu lewat proses pendidikan. Walau pendidikan memang tidak selalu sama dengan sekolah, kini sekolah apalagi di tingkat dasar memainkan peran penting.

Secara konstitusional mendidik memang adalah tugas negara tapi secara moral mendidik adalah tugas setiap orang terdidik.

Karena itu kami mengundang Anda yang sudah merasakan faedah pendidikan untuk ikut turun tangan, ikut terlibat langsung dalam membangun manusia Indonesia, ikut bersama-sama mengubah kondisi Indonesia kita.

Tawaran kami sederhana: think big, start small, and act now!

Sumber: http://kelasinspirasi.org/?page=galeri


Kami undang Anda yang sudah berkarier di dunia profesional untuk ambil cuti dan menjadi guru Sekolah Dasar selama satu hari pada hari Rabu, tanggal 20 Februari 2013.

Di SD-SD yang telah ditentukan ini mungkin Anda akan menyaksikan bahwa hitungan jarak kilometernya memang amat dekat dengan tempat Anda bekerja, tapi hitungan jarak kesejahteraan, jarak pengetahuan, jarak wawasan terlihat amat jauh.

Pada hari itu Anda tidak mengajar matematika, bahasa Indonesia atau Ilmu Pengetahuan Alam. Di SD itu Anda menceritakan tentang profesi Anda. Anda hadir untuk menjadi sumber inspirasi. Kita menyebutnya sebagai Kelas Inspirasi.

Mimpi itulah yang senyatanya sering hilang dari ruang kelas di sekolah-sekolah kita, apalagi saat kelas bukan lagi sekadar berarti ruang belajar di sekolah, kelas juga berarti pembagi strata ekonomi.

Berada di "atas" sering memudahkan untuk bermimpi, dan berada di "bawah" itu sering membuat bermimpi itu jadi sebuah mimpi tersendiri.

Anda hadir di sana untuk membangkitkan mimpi anak-anak di SD itu. Baju mereka bisa amat sederhana, rumah mereka bisa panas dan kumuh tapi ajaklah mereka untuk bermimpi, untuk punya cita-cita besar. Anda hadir di kelas itu menanamkan bibit mimpi mulia bagi saudara sebangsa. Sejauh apapun jarak kesejahteraannya, wawasannya, atau pengetahuannya mereka adalah amat dekat; mereka saudara kita, saudara sebangsa.

Mimpi adalah cermin pengetahuan, cermin wawasan. Anda datanglah untuk membukakan pengetahuan dan wawasan llau biarkan mimpi mereka terbang amat tinggi, sambil ingatkan mereka bahwa lewat kerja keras nan cerdas dan didampingi doa mereka bisa meraih dan melampaui mimpi itu!

Di kelas itu Anda akan menyaksikan mata berbinar, senyum lebar dan wajah ceria anak-anak itu. Mereka adalah wajah masa depan bangsa ini. Di ruang kelas itu Anda mulai mencicipi suasana Indonesia di masa depan. Potret masa depan Indonesia ada di ruang-ruang kelas.

Di kelas itu, anak-anak akan melihat Anda dengan penuh semangat. Guru seharinya adalah orang baru. Izinkan mereka mengingat Anda, mungkin mereka pulang ke rumah, menyongsong orang tuanya sambil bertutur betapa inginnya dia bisa seperti guru-guru di Kelas Inspirasi, seperti Anda.

Secara fisik kehadiran Anda cuma sehari, tapi bekasnya bisa langgeng. Ya, cerita Anda, pengetahuan, inspirasi, semangat dan pencerahan dari Anda bisa hadir secara amat permanen dalam hati dan mimpi mereka.

Anda memang diharuskan mengambil cuti pada hari itu tapi kami tidak mengajak Anda untuk berkorban, kami menawarkan kepada Anda kehormatan untuk mewakili kita semua hadir di kelas-kelas membangkitkan mimpi.

Menyumbang uang itu baik, memberikan buku itu bermanfaat, membangun fasilitas pendidikan itu mulia, tapi sesungguhnya iuran terbesar dan terpenting dalam pendidikan adalah kehadiran. Ya, hadirnya inspirator adalah Iuran terbesar dalam pendidikan. Kini lewat Kelas Inspirasi Anda bisa beri iuran terbesar itu yaitu hadir sebagai inspirator.

Kami pun yakin sehari di ruang kelas itu akan memberikan wawasan lain, membuka perspektif baru tentang bangsa kita tercinta. Anda akan bertemu guru, kepala sekolah yang berdedikasi menyiapkan masa depan. Mereka pun akan belajar tentang Anda. Melalui Kelas Inspirasi itu semua akan belajar.

Seselesainya jadi pengajar di Kelas Inspirasi Anda akan punya perasaan yang berbeda, Anda telah senyatanya ikut turun tangan mengubah wajah masa depan Indonesia.

Lewat kelas Inspirasi ini Anda turun tangan, bergandeng tangan dengan para profesional di berbagai kota di Indonesia, semua sama-sama ikut melunasi janji kemerdekaan kita: mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kami tunggu kehadiran Anda berserta pengalaman Anda di Kelas Inspirasi.

Salam hangat,

Anies Baswedan

Tuesday, May 7, 2013

Kenalkan Seni Sejak Dini (Right Brain World)


MESKI pemerintah dewasa ini menggembar-gemborkan potensi ekonomi kreatif, banyak orangtua tampaknya masih percaya pada karier professional sebagai jalan hidup yang bakal ditempuh anaknya. Indikatornya, orangtua masih sibuk mendorong anak mengejar ranking dan nilai bagus untuk mata-mata pelajaran terkait otak kiri.
Anak yang pintar nyaris identik dengan anak yang meraih nilai bagus pada mata pelajaran matematika dan sains. Sementara itu, mata pelajaran seputar seni dan humaniora acap dipandang sebelah mata. Orangtua lebih memprioritaskan anaknya mengikuti kursus tambahan di bidang matematika ketimbang melukis atau tarik suara. Padahal, terdapat banyak peluang dan hal positif yang dapat diperoleh dengan menguasai seni.

Dewasa ini, semakin banyak pengusaha yang menginsyafi, merekrut professional yang cerdas secara intelegensia tidak menjamin unjuk kerja yang baik. Tak jarang, mereka justru mandek saat menghadapi persoalan-persoalan bisnis yang menuntut kreativitas. Sebaliknya, orang-orang yang kreatif dan pintar berkomunikasi, lebih tangguh menghadapi masalah dan selalu punya usul untuk menyiasati kebuntuan.

Laman Washington Post belum lama ini memuat tulisan tentang 10 keterampilan yang dapat dipelajari anak dari seni. Mengacu kepada buku The Artistic Edge: 7 Skills Children Need to Succeed in an Increasingly Right Brain Worldyang ditulis Lisa Philips, kesepuluh keterampilan itu adalah kreativitas, percaya diri, kemampuan menyelesaikan masalah, focus, komunikasi, non verbal, memperoleh umpan balik yang membangun, kolaborasi, dedikasi, dan kepercayaan. Hal-hal ini akan sangat bermanfaat bagi si kecil ketika kelak merintis karier di dunia kerja.


Itu sebabnya para orangtua di AS dewasa ini mulai mendiskusikan kemungkinan mengubah penekanan pendidikan nasional dari STEM (science, technology, engineering, mathematics) menjadi STEAM (tambahan “a” adalah arts).
Bagaimana mengenalkan seni kepada si kecil? Sebenarnya hal itu dapat dimulai dari hal-hal sederhana. Memberi kesempatan seluas-luasnya untuk menggambar dapat menjadi salah satu contoh. Pemilik akun @AsterAritonang mengatakan, ia menyediakan berbagai sarana penyaluran kreativitas seni visual di rumah berupa krayon, spidol, cat air/minyak, dan kuas.

Alam dapat menjadi ekspresi seni yang paling alamiah. Mendekatkan anak dengan alam dapat mendorong kreativitasnya. Menurut pemilik akun @Arvilla312, mengajak anak ke pantai, sawah, gunung, atau sungai yang masih alami dapat memperkaya imajinasi seni anak. Atau, seperti diutarakan pemilik akun @awhe80, pengenalan seni dapat dimulai dengan melihat fenomena alam visual, mendengarkan kicauan burung juga dapat menjadi cara membawa anak menghayati keindahan seni. Bagaimana dengan anda?// Kompas 5 Mei 2013

Monday, April 15, 2013

11 Presentation Lessons You Can Still Learn From Steve Jobs


11 Presentation Lessons You Can Still Learn From Steve Jobs



Steve Jobs is still the word’s greatest corporate storyteller. I’ve seen plenty of talented speakers in the past year and I’ve written about many of them in this column but I have yet to find someone as good as Steve Jobs. This is why I have spent so many years reviewing, analyzing and sharing Jobs’ presentation techniques because leaders and entrepreneurs today need to carry on his legacy if we hope to inspire the world with our ideas. His keynote presentations continue to attract thousands of views on YouTube and he has profoundly impacted the way leaders communicate.
Earlier this year a Wall Street Journal article titled Bio As Bible featured managers who are imitating Steve Jobs based on what they’ve learned in Walter Isaacson’s biography and also from one of my books, The Innovation Secrets of Steve Jobs. While I’m very proud that the WSJ highlighted my content, dressing like Jobs is not going to inspire your audience. However, there are many other presentation techniques that you can and should copy from Steve Jobs.
Steve Jobs was an astonishing presenter because he informed, inspired, and entertained. In this article I outline 11 techniques from one presentation, the iPhone launch in 2007. If your presentation is tomorrow and you only have time to incorporate a few ideas, then spend 7 minutes to watch this video where I highlight just three techniques from the same presentation. If you want the whole enchilada, read on.
Express your passion. Steve Jobs was passionate about design, he absolutely loved his new product, and he wore his enthusiasm on his black-mock sleeve. “It looks pretty doggone gorgeous,” he said with a big smile after showing the iPhone for the first time. Jobs often used words such as “cool,” “amazing,” or “gorgeous” because he believed it. Your audience is giving you permission to show enthusiasm. If you’re not excited about your idea, nobody else will be.
Create a Twitter-friendly headline.Jobs used a technique I’ve labeled the “Twitter-friendly headline,” a one-sentence summary of a product that perfectly captured the main message he wished to deliver. Shortly after showing the new phone, Jobs proudly proclaimed, “Today Apple is going to reinvent the phone.” The headline, “Apple reinvents the phone” was the only sentence on the slide. He repeated the headline several times during the presentation. A Google search for the phrase turns up about 25,000 links, most of which are directly from articles and blog posts covering the launch presentation.
Stick to the rule of three. Jobs instinctively understood that the number “3” is one of the most powerful numbers in communications. A list of 3 things is more intriguing than 2 and far easier to remember than 22. Jobs divided his iPhone presentation into three sections. He spoke about the iPod functions of the new iPhone, the phone itself, and connecting to the Internet. Jobs even had some fun with three. He stepped on stage and said, “Today we are introducing three revolutionary products. The first, a widescreen iPod with touch controls. The second, is a revolutionary mobile phone. And the third is a breakthrough Internet communications device.” As the audience applauded, Jobs repeated the three ‘products’ several times. Finally he said, “Are you getting it? These are not three separate devices, they are one device and we are calling it iPhone!”
Introduce a villain. All great stories have a hero and a villain. A Steve Jobs presentation was no exception. In 2007, why did the world need another mobile phone, especially from Apple? Jobs set up the narrative by introducing a villain—a problem in need of a solution: “Regular cell phones are not so smart and they are not so easy to use. Smartphones are a little smarter, but are harder to use. They are really complicated…we want to make a leapfrog product, way smarter than any mobile device has ever been and super easy to use. This is what iPhone is.”
wenty-one if you include dates). Those words are also distributed across about twelve slides. For more tips on using ‘picture superiority’ in your slide design, please read my earlier article on Jeff Bezos and the end of PowerPoint as we know it.
Tell stories. Before Jobs revealed the new phone, he spent a moment to review the history of Apple, telling a story that built up to the big event. “In 1984, Apple introduced the first Macintosh. It didn’t just change Apple. It changed the whole computer industry. In 2001, we introduced the first iPod. It didn’t just change the way we all listen to music. It changed the entire music industry.” Stories can be brand stories, customer stories, or personal ones. In one very funny moment, Jobs’ clicker failed to advance the slides. After a few seconds of trying to fix it, he paused and told a short story of a how he and Steve Wozniak used to pull pranks on students at Wozniak’s college dorm. Woz had invented a device that jammed TV signals and they used it to tease students when they were watching Star Trek. It brought some levity to the keynote, the problem was fixed, and Jobs effortlessly moved along.
Prepare and practice excessively. The clicker snafu that I just described teaches another great lesson for all presenters. Jobs casually laughed off the glitch, told a story, and got back to his presentation when his team resolved the issue. He never missed a beat and certainly didn’t get flustered. Jobs was legendary for his preparation. He would rehearse on stage for many hours over many weeks prior to the launch of a major product. He knew every detail of every demo and every font on every slide. As a result the presentation was delivered flawlessly. People often tell me, “I’m not as smooth as Jobs was.” Well, neither was he! Hours and hours of practice made Jobs look polished, casual, and effortless.

Avoid reading from notes. The introduction of the iPhone lasted about 80 minutes. Not once did Jobs read from a teleprompter or notecards. He had internalized the content so well that he didn’t need notes. During the demos, however, he did have a very short list of bullet points hidden from the audience’s view. Those bullets served as reminders and they were the only notes he relied upon.
Have fun. When Jobs first told the audience that Apple was going to introduce a mobile phone he said, “Here it is.” Instead of showing the iPhone, the slide displayed a photo of an iPod with an old-fashioned rotary dial on it. The audience got a kick out of it, laughing and clapping. They had been played and Jobs was enjoying their reaction. There were many funny moments, including a crank call. Jobs was demonstrating the maps feature to show how easy it was to find a location and call the number. He found a Starbucksnearby and called it. A woman picked up the phone and said, “Good morning, Starbucks. How can I help you?” Jobs said, “I’d like to order 4,000 lattes to go, please. No, just kidding. Wrong number. Bye bye.” The audience loved it. I’ve never seen Jobs enjoy himself more in a keynote.
Inspire your audience. Jobs liked to end his keynotes with something uplifting and inspiring. At the end of the iPhone presentation he said, “I didn’t sleep a wink last night. I’ve been so excited about today…There’s an old Wayne Gretzky quote that I love. ‘I skate to where the puck is going to be, not where it has been.’ We’ve always tried to do that at Apple since the very, very beginning. And we always will.”
Steve Jobs educated, entertained, informed, and inspired his audiences in every presentation. So can you. It takes work, planning, and creativity, but if someone is willing to listen to your ideas it’s worth the effort to make it great.

Source:
http://www.forbes.com/sites/carminegallo/2012/10/04/11-presentation-lessons-you-can-still-learn-from-steve-jobs/2/



Sekolah di Rumah (Daniel Mohammad Rosyid)



Sudah makin jelas, di abad internet ini belajar sebagai jantung pendidikan kian tak membutuhkan sekolah.


Google sudah banyak menggantikan guru. Tembok-tembok sekolah lambat tapi pasti bertumbangan diterjang internet. Sungguh mengherankan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih sibuk dengan bongkar pasang kurikulum, sementara sekolahnya sendiri justru terancam ambruk dan tergusur.

Gagasan deschooling (baca: sekolah di rumah) untuk pertama kali disampaikan Ivan Illich pada awal 1970-an saat internet belum ada. Illich berpendapat, begitu pendidikan diartikan sama dengan persekolahan dan dimonopoli oleh sekolah, pendidikan justru jadi barang langka. Akses ke pendidikan justru jadi terbatas. Begitu pendidikan diartikan lebih luas dan tak hanya persekolahan, pendidikan justru lebih mudah diakses. Mengapa? Karena sejumlah institusi di masyarakat, termasuk keluarga di rumah, bangkit untuk memberikan layanan pendidikan bagi warga.

Oleh karena itu, Kemdikbud keliru saat meletakkan taruhan masa depan bangsa ini di sekolah, apalagi di kurikulum. Taruhan terbesar kita justru kepada keluarga di rumah. Memperkuat keluarga jauh lebih efektif untuk mendidik warga muda. Kurikulum hanya resep makan siang di warung dekat rumah yang disebut sekolah. Keluarga di rumahlah yang menyediakan sarapan dan makan malam. Menaikkan upah buruh yang lebih layak akan memperkuat keluarga menyediakan sarapan dan makan malam yang bergizi. Makan siang tidak akan terlalu penting lagi.

Sugata Mitra, profesor teknologi pendidikan, mengatakan, sekolah sudah kuno, tidak kita butuhkan lagi. Dia mengusulkan perlunya self-organized learning environment (SOLE) sebagai model pendidikan baru. Saya ingin mempertegas bahwa keluarga adalah model SOLE terbaik yang pernah diciptakan di planet ini. Ki Hadjar Dewantara pun memandang keluarga adalah tempat belajar terbaik, terutama bagi warga belia.

Sekolah di rumah berfokus pada pemberdayaan diri dan keluarga. Adalah logika sekolah yang mengajarkan: makin banyak bersekolah kita akan makin terdidik. Makin banyak rumah sakit, kita makin sehat. Makin banyak kantor polisi, kita makin tertib. Makin banyak tentara dan tank, kita makin aman. Makin banyak masjid dan gereja, kita makin religius. Padahal, yang terjadi adalah sebaliknya: kita makin tidak terdidik, tidak sehat, tidak tertib, tidak aman, dan tidak religius.

Semangat belajar mandiri atau otodidak perlu dipromosikan dan dihargai. Syarat formalistik ijazah untuk berbagai jabatan harus kita buang. Ijazah bukan bukti kompetensi yang meyakinkan. Pendidikan nonformal dan informal perlu lebih kita hargai dan memperoleh perhatian serta alokasi anggaran yang lebih sepadan.

Barat jelas lebih tersekolahkan daripada bangsa ini. Kita mengadopsi konsep sekolah ini dari sana. Namun, kita lihat saat ini, Barat sedang terhuyung-huyung didera sejumlah krisis. Kita harus belajar dari kesalahan Barat. Kemdikbud tidak bisa kita biarkan meletakkan taruhan masa depan bangsa ini di sekolah, apalagi di kurikulum. Taruhan besar bangsa ini ada di rumah.

Daniel M Rosyid Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur# Sumber Artikel: Harian Kompas April 2013# Sumber Gambar: http://borderlessnewsandviews.com/2013/01/a-public-teachers-thoughts-on-homeschooling/#